Sabtu, 01 Agustus 2009

Kaligrafi Teks Alquran

Gaya kaligrafi yang paling banyak dipakai untuk bagian utama Alquran ini adalah Naskhi, dan jarang sekali yang menggunakan gaya lain. Ini tentu saja dapat dimengerti, karena Naskhi merupakan gaya yang paling mudah dibaca, dan fungsi Mushaf pertama-tama adalah untuk dibaca.

Mengamati beberapa Mushaf yang ada, gaya Naskhi yang tertulis dalam Mushaf-mushaf dari berbagai daerah di Nusantara pada umumnya sederhana atau sangat sederhana. Gaya Naskhi di sini bukanlah Naskhi dengan kaidah penulisan yang baku seperti yang telah dirumuskan oleh ahli kaligrafi (khattat), namun suatu gaya Naskhi yang bebas, sesuai style masing-masing penyalin.


Dari banyak Mushaf kuno yang telah dikaji, gaya Naskhi yang paling baik kualitasnya. Sementara gaya kaligrafi yang lain tidak ditemui adalah sebuah Mushaf dari Palembang, milik keluarga ahli waris kesultanan Palembang. Naskah ini sangat mirip dengan Mushaf Turki, baik iluminasi dengan latar emasnya yang mewah, maupun kaligrafinya. Gaya Naskhi yang dipakai adalah gaya Turki, namun dengan penguasaan pena yang masih kurang sempurna.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa naskah ini merupakan satu-satunya Mushaf yang telah berusaha menuliskan huruf Arab dengan benar, sesuai kaidah baku yang telah dirumuskan oleh para kaligrafer pendahulu di Timur Tengah.

Dapat dipastikan, penyalin Mushaf ini telah mendapatkan pendidikan menulis kaligrafi dengan baik. Hal itu tampak dari olahan hurufnya yang sangat kreatif, meskipun masih dengan detail yang kurang baik. Konsistensi penulisannya, dari awal hingga akhir Mushaf, juga mengagumkan. Keseluruhan teksnya, termasuk penulisan kepala-kepala surah, menggunakan Naskhi, sesuatu yang sangat lazim dalam Mushaf-mushaf Turki.

Sesuatu yang menarik dicermati pula dalam Mushaf ini adalah penggunaan “hurf at-taj” (huruf mahkota) berupa tanda lengkung pada setiap huruf ba Basmalah. Hurf at-taj (huruf mahkota) pada ba Basmalah dalam Mushaf dari Palembang hurf at-taj (huruf mahkota) di sini berfungsi sebagai penanda awal surah.

Abjad Arab tidak memiliki huruf kapital (huruf besar), oleh karena itu, penggunaan tanda lengkung pada ba Basmalah adalah untuk menandai permulaan surah, secara lebih tegas. Penandaan seperti ini tidak ditemukan pada Mushaf lain.

Pada Mushaf-mushaf lain, penandaan awal surah pada umumnya menggunakan penulisan ta pada kata ayat dan Makkiyah/Madaniyyah yang dipilin-pilin sedemikian rupa akan dibicarakan dalam subbagian berikut.

Selain Mushaf Palembang ini, penulisan Mushaf-mushaf yang lain praktis tanpa mengindahkan kaidah baku kaligrafi Arab yang telah menjadi pegangan umum para penulis Mushaf dan naskah-naskah keagamaan selama berabad-abad. Di sini tampak bahwa kaligrafi Arab di Nusantara “jatuh” ke tingkat individu, tidak pada tingkat yang lebih tinggi misalnya, ada suatu kaidah umum.

Jika dibandingkan dengan Mushaf-mushaf dunia Islam lain, misalnya Turki, Mesir, Irak, dan Iran yang demikian indah kaligrafinya, kualitas kaligrafi Mushaf Nusantara dapat dikatakan rendah, atau “jarang [yang] sampai ke tingkatan seni”.
Di Timur Tengah, gaya yang lazim pula dipakai, selain Naskhi, adalah Muhaqqaq, suatu gaya yang biasanya dipakai untuk Mushaf-mushaf kesultanan yang monumental.

Gaya Naskhi selalu dipakai oleh para penyalin Mushaf karena gaya ini paling sederhana penulisannya, dan paling mudah dibaca. Para kaligrafer Nusantara pada umumnya menyalin Alquran terutama untuk keperluan pengajaran. Dalam hal itu, tentu yang dibutuhkan adalah Alquran yang sederhana, mudah dibaca.

Adapun Mushaf-mushaf yang indah dan monumental, pada umumnya dibuat di keraton, dengan niat yang berbeda, yaitu misalnya untuk mengukuhkan kekuasaan. Meskipun demikian, kaligrafi yang digunakan adalah Naskhi pula, dan tidak menggunakan gaya lain yang monumental. Hal terakhir ini, mungkin dikarenakan tenaga terampil dalam bidang kaligrafi sangat terbatas.

Beberapa gaya Naskhi dalam Mushaf kuno yang mengikuti “selera” penyalinnya sendiri, dapat dilihat dalam banyak Mushaf yang ada. Gaya Naskhi pada Mushaf-mushaf dengan bahan kertas dluwang tampak lebih sederhana, karena Mushaf tersebut memang tidaklah dibuat untuk memenuhi rasa keindahan, tetapi hanya untuk pengajaran, terutama di pesantren-pesantren.
Kertas dluwang banyak digunakan untuk menulis teks-teks keagamaan di pesantren-pesantren, karena harganya lebih murah daripada kertas Eropa, dan dapat diproduksi secara manual.

Dalam penulisan nash Alquran, sesuatu yang dapat dikatakan unik, adalah ekor ayat-ayat sisa yang dituliskan di kepala surah selanjutnya. Hal ini menjadi gejala umum, dan terdapat pada Mushaf-mushaf dari Palembang, Pakanbaru, Mataram, Surabaya, dan Demak. Hal ini juga terdapat pada Mushaf kuno Timur Tengah, namun tidak ditemukan lagi pada Mushaf-mushaf “modern”. Sisa-sisa ayat sebuah surah yang dituliskan di kepala berikutnya: Sebuah Mushaf dari Palembang. Model seperti ini terdapat di berbagai daerah.

Selengkapnya...

Ragam Gaya Kaligrafi

Ragam kaligrafi yang terdapat dalam naskah –seperti halnya dalam epigrafi (tulisan pada batu) yang telah dikaji Hasan M. Ambary– memperlihatkan dua kecenderungan, yaitu (1) adanya anasir kebudayaan asing, dan (2) pengembangan kreativitas lokal.Dalam perkembangannya, karya-karya kaligrafi Nusantara, dalam berbagai media ekspresi seni, berhasil menyerap unsur budaya setempat. Dalam konteks penulisan Mushaf kuno Nusantara, dua karakter hasil transfomasi budaya, yaitu Mushaf yang memperlihatkan kuatnya anasir budaya asing, dan Mushaf yang merupakan hasil pengembangan kreativitas lokal, keduanya tampak cukup jelas.
Unsur-unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat terlihat misalnya dalam “kaligrafi floral”, suatu karakter kaligrafi yang bermotif tumbuh-tumbuhan yang sangat khas. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan pada kepala-kepala surah.

Sebuah Mushaf yang cukup mewah dari Palembang memperlihatkan dengan jelas unsur tradisi Mushaf Turki Usmani, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Kaligrafi Naskhi yang digunakan dalam Mushaf ini sangat dekat dengan gaya Naskhi yang dituliskan pada Mushaf-mushaf Turki sezaman. Namun Mushaf seperti itu tidak banyak, dimungkinkan karena hubungan antarkesultanan; dan yang paling banyak, menyebar di berbagai daerah, adalah Mushaf dengan “citarasa” lokal, baik kaligrafi maupun iluminasinya. Hal ini memperlihatkan apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap budaya lokalnya, sehingga menumbuhkan kreativitas yang warna-warni.

Kaligrafi dalam Mushaf secara umum terdiri atas empat bagian: (1) kaligrafi teks (nash) Alquran, (2) kaligrafi nama-nama surah, (3) kaligrafi teks pias (pinggir halaman), berupa tulisan juz, angka halaman, tajwid, qiraat, terjemahan, atau catatan-catatan lain yang biasanya ditulis di bagian pinggir naskah; dan (4) kaligrafi teks-teks sebelum dan sesudah teks Alquran, berupa doa-doa, daftar surah, dan kolofon. Masing-masing bagian tersebut memiliki ciri khas penulisan tersendiri, dan gaya kaligrafi yang dipakai berbeda-beda. Para pekerja Mushaf mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan fungsi masing-masing bagian di atas.




Selengkapnya...

Telaah Mushaf Kuno Nusantara

Ditulis oleh Ali Akbar dengan judul asli: “Menggali Khazanah Kaligrafi Nusantara.” dengan sub judul: “Telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno.”

Di Indonesia, sejauh yang diketahui sampai saat ini, Mushaf yang paling kuno ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, pada 7 Zulqa’dah 1005 H (1597 M) di Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan naskah tertua empat abad lebih yang lalu itu, diperkirakan kegiatan penyalinan Alquran di Nusantara telah berlangsung sejak saat itu, atau satu atau dua abad sebelumnya.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa ulama-ulama di berbagai kota lain di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Selain Maluku Utara, pusat-pusat Islam masa lalu, di antaranya Aceh, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Madura, Lombok, Banjarmasin, dan lain-lain. Di kota dan daerah-daerah tersebut Mushaf tua ditemukan dalam jumlah cukup banyak, baik tersimpan di museum maupun tersebar di masyarakat.
Motivasi yang mendorong umat Islam untuk menyalin Mushaf adalah, pertama, karena Alquran merupakan pedoman hidup Muslim, dan kedua, karena semangat mengajarkannya, atau dakwah.

Membaca Alquran bagi setiap Muslim merupakan ibadah, mereka akan selalu berusaha untuk mengulang baca, dan mempelajari isinya. Oleh karena itu, setiap Muslim merasa perlu memiliki salinan Alquran, baik lengkap, atau surah-surah tertentu yang dianggap istimewa, seperti Yasin, atau surat-surat pendek dalam juz 30.

Memperhatikan Mushaf-mushaf kuno di berbagai tempat, sangat sedikit yang menuliskan kolofon, yang biasanya berisi data penulis, pemesan, dan waktu penulisan. Ketiadaan kolofon ini menyulitkan pengkaji Mushaf, karena tidak mudah untuk memperkirakan masa penulisannya. Penyalinan Mushaf pada awalnya banyak dilakukan oleh para ulama, kiai, atau santri di pesantren-pesantren di berbagai daerah di Nusantara.

Menurut Mahmud Buchari, Mushaf-mushaf monumental di Indonesia pada umumnya ditulis oleh ulama-ulama terkenal, misalnya Mushaf Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Banjarmasin, Mushaf Syekh Nawawi al-Bantani dari Banten, Mushaf Diponegoro, dan Mushaf Amangkurat I dari Jawa Tengah. Namun tampaknya tokoh-tokoh tersebut tidak selalu yang menulis Mushaf secara langsung, melainkan sebagai pemilik atau pemesan. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama yang memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 dan 17 M, Makkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa para penyokong seni Islam, termasuk yang terpenting Mushaf, adalah para raja atau elite penguasa. Keterlibatan raja dalam penyalinan Mushaf telah menjadi tradisi kerajaan-kerajaan Islam, dan para khalifah selalu menjadi pelindung yang paling penting.

Di Indonesia demikian pula, para sultan atau bangsawan menjadi pemrakarsa penyalinan Mushaf, seperti di Palembang, Surakarta, dan Yogyakarta. Penyalinan Alquran yang disponsori oleh kerajaan pada umumnya bersifat monumental, baik dari segi kaligrafi maupun iluminasinya.
Iluminasinya biasanya berlatarkan emas, dengan detail penggarapan yang baik, mementingkan segi keindahan Mushaf. Sementara, Mushaf yang dibuat oleh masyarakat Islam pada umumnya, termasuk kalangan pesantren, bersifat sederhana, atau amat sederhana, karena fungsinya berbeda. Mushaf bagi kalangan ini adalah untuk dibaca atau untuk keperluan pengajaran. Oleh karena itu, baik kertas, iluminasi maupun kaligrafinya jauh lebih sederhana.
Selengkapnya...

Sabtu, 18 Juli 2009

Lukisan Kaligrafi M.Choesny

Sebuah lukisan dalam makna yang umum adalah ungkapan ekspresi yang dituangkan kedalam kanvas, bisa dalam bentuk goresan, warna dan tekstur. Lukisan Kaligrafi dalam konteks diriku adalah aku menjadikan tulisan/kaligrafi Arab sebagai media dalam seni lukis. Tanpa terikat dengan kaidah penulisan baku yang ada. Perlakuannya adalah sama ketika anda mencoret dan atau menuliskan sebuah kalimat atau cerita kedalam media seni lukis.
Lukisan Kaligrafi Choesny adalah sebuah objek seni rupa yang menggabungkan pengalaman estetika, norma agama dan sosial dengan mengambil tulisan Kaligrafi Arab sebagai objek utama dalam proses melukis. Oleh karena itu kebebasan ber-ekspresi dan ritme didalamnya menjadi hal yang utama tanpa menyampingkan makna/arti dari tulisan kaligrafi Arab tersebut.


Selengkapnya...